suaramaluku.com – Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo dan rombongan melakukan kunjungan kerja di Ambon-Maluku dalam rangka meninjau kegiatan Karya Bakti memperingati ke-75 Hari Bakti TNI AU.
Setibanya di Bandara Pattimura Ambon, Minggu sore, KSAU) langsung diberi gelar kehormatan adat Maluku yaitu sebagai Penjaga Kedaulatan Angkasa atau “Ama Elekakai Saka Runa Sanaeno”, yang artinya Pemimpin Besar Penjaga Kedaulatan Angkasa di Maluku.
“Marsekal TNI Fadjar Prasetyo dan Ketua Umum PIA Ardhya Garini Nyonya Inong Fadjar Prasetyo, dianugerahi gelar kehormatan adat oleh Majelis Latupati Maluku, Ama Elakekai Saka Runa Sanaeno,” ujar Kadispen TNI AU, Marsma Indan Gilang Buldansyah kepada wartawan di Ambon, Minggu (3/7/2022).
Pemberian gelar itu, diberikan oleh Ketua Majelis Latupati Maluku HI Ibrahim M.H. Wokas selaku Raja Negeri Urung. Turut hadir Sekum Majelis Latupati Decky Tanasale dan perwakilan 21 Raja di Provinsi Maluku saat penyematan gelar adat tersebut.
Fadjar Prasetyo juga mendapat sebuah jubah hitam dari Ketua Majelis Latupati. Jubah tersebut merupakan bukti simbolis dari keputusan adat Latupati Maluku.
“Ditandai pengenaan pakaian adat Maluku dan penyerahan piagam keputusan adat Latupati Maluku,” kata Marsma TNI Indan.
Kedatangan KSAU dan jajarannya untuk kegiatan karya bakti. Ini merupakan rangkaian kegiatan Hari Bakti ke-75 TNI AU yang diperingati tiap tanggal 29 Juli. Kunjungan kerja ini akan berlangsung hingga Rabu (3/7/2022) di berbagai kawasan di Maluku.
Selain Majelis Latupati, turut hadir Gubernur Maluku Murad Ismail, Kapolda Maluku Irjen Pol Lotharia Latif, Pangdam Pattimura Mayjen TNI Richard Tampubolon, Komandan Lantamal Ambon Brigjen TNI (Mar) Said Latuconsina serta Danlanud Pattimura Kolonel Pnb Andreas A. Dhewo.
Sementara itu, KSAU menyampaikan terima kasih kepada Pemprov Maluku dan Majelis Latupati atas pemberian penghormatan gelar tersebut.
“Terima kasih atas penghargaan setingginya, atas penghargaan yang telah diberikan masyarakat Maluku kepada saya. Mendapat gelar yang sangat terhormat yakni ‘Ama Elekakai Saka Runa Sanaeno’,” tutur KSAU saat di kediaman pribadi Murad Ismail, seperti dirilis Detiknews.
“Sungguh, suatu kehormatan bagi saya pribadi dan institusi TNI AU atas pengangkatan gelar ini,” sambungnya.
“Adapun kunjungan saya selaku KSAU di wilayah Maluku ini, selain melaksanakan kunjungan kerja ke beberapa lapangan udara di jajaran kami di wilayah ini, dan kami ini punya gawe besar pak,” ujarnya.
“Tahun ini memusatkan karya bakti dalam rangka Hari Bakti AU yang ke-75. Jadi tahun ini kita pusatkan di wilayah Ambon khususnya,” tutupnya.
ASAL PENERBANG LEGENDARIS
Kedatangan KSAU ini, mengingat kita dalam sejarah perjuangan militer Indonesia atau ABRI/TNI putra-putri asal atau keturunan Maluku di eta Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) atau TNI AU hingga kini.
Sesuai data dan informasi yang dikumpulkan suaramaluku.com maupun satumaluku.id dari berbagai sumber, kiprah anak-anak Maluku di jajaran satuan-satuan TNI AU sangat cemerlang.
Bahkan ada figur yang jadi penerbang legendaris, lulusan Akademi Militer (Akmil) terbaik angkatannya yang meraih penghargaan Adi Makayasa dan komandan pasukan elit TNI AU, Paskhas Hampir semuanya penerbang hebat jet tempur. Mulai dari pesawat jenis Mustang, Skyhawk, MIG-21 maupun F-5 Tiger dan lainnya.
Yang uniknya. Sepanjang sejarah TNI AU sejak awal kemerdekaan Indonesia, ada tiga orang atau trio yang satu marga (fam) sukses capai pangkat jenderal bintang dua atau Marsekal Muda (Marsda), maupun putra Maluku keturunan Tionghoa yang berpangkat jenderal bintang satu atau Marsekal Pertama (Marsma) dan lainnya.
Tiga jenderal satu marga yaitu almarhum Marsda TNI Purn Leonardus Willem Johanes Wattimena atau lebih dikenal sebagai komodor Leo Wattimena. Berikutnya Marsda TNI Purn Pieter L.D. Wattimena serta Marsda TNI Purn Adrian Wattimena. Namun tempat kelahiran mereka berbeda yaitu Pontianak, Pematang Siantar Sumut dan Ambon.
Selain trio jenderal Wattimena, juga ada penerbang yang pensiun jenderal bintang dua yakni Marsda TNI Purn Lambert Silooy. Serta purnawirawan jenderal bintang satu keturunan Tionghoa pertama yang menjadi penerbang jet tempur di Indonesia, yaitu Marsma TNI Purn Rudi Taran.
Rudi Taran dikenal kariernya sebagai penerbang pesawat tempur sangat diakui. Ia mantan penerbang MiG-21 Fishbed, pelaku operasi “Ganyang Malaysia” dan operasi Trikora ini punya nama kode penerbang atau nickname “Tarantula”. Ia lahir di Piru, Seram Bagian Barat dan tamat SMA di Ambon.
Terkini ada pula jenderal bintang satu yang masih menjabat Kepala Keuangan Mabes TNI AU, Marsma TNI Gladly Mailoa dan beberapa perwira lainnya. Mailoa juga sempat menduduki posisi Kepala Pusat Keuangan Mabes TNI.
Selain nama-nama tersebut. Tercatat pula dalam sejarah perwira andalan TNI AU asal Maluku, namun karier mereka berakhir atau meninggal sebelum capai pangkat perwira tinggi semisal Edward Tenlima, Luhukay, Lambertus Manuhua, Dominicus Dumatubun dan lainnya.
Dari sekian banyak nama di atas, beberapa diantaranya nama mereka diabadikan pada pangkalan dan fasilitas milik TNI AU. Misalnya saja Pangkalan TNI AU (Lanud) Leo Wattimena di Morotai Maluku Utara, Lanud Manuhua di Biak Papua, Lanud Dumatubun di Langgur Maluku Tenggara dan Gedung Serbaguna Luhukay di Lanud Pattimura Ambon.
Sedangkan pilot atau penerbang asal Maluku yang punya reputasi dan prestasi hebat pada jaman orde lama maupun orde baru adalah Marsda TNI Leonardus Willem Johanes Wattimena atau lebih dikenal sebagai komodor Leo Wattimena. Ia adalah perwira penerbang legendaris di matra udara TNI. Sayangnya, beliau meninggal di usia masih muda 48 tahun.
Leo Wattimena adalah rekan mantan KSAU Roesmin Nuryadin yang eks Menteri Perhubungan era Soeharto. Keduanya dikenal sebagai komodor udara Indonesia. Rekan-rekan Leo beberapa diantaranya menjadi Kepala Staf TNI AU dengan pangkat jenderal penuh atau bintang empat.
Ia merupakan salah satu kadet penerbang yang dikirim pada awal Indonesia merdeka untuk ikut pendidikan Sekolah Penerbang di California, Amerika Serikat pada 1950. Sekitar 60 kadet yang dikirim pemerintah Indonesia untuk mengikuti pendidikan penerbang “Trans Ocean Airlines Oakland Airport” (TALOA).
Selama mengikuti pendidikan di Taloa, Leo Wattimena menjadi lulusan terbaik dari 45 kadet yang menjadi penerbang, dan selebihnya menjadi navigator. Dari hasil yang sangat membanggakan itu membuat dirinya dapat kesempatan bersama 18 rekannya untuk melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh bulan di TOLOA.
Pada 1955, Leo dikirim ke Inggris untuk mengikuti pendidikan instruktur di Royal Air Force (RAF). Lagi-lagi, Leo menjadi lulusan terbaik. Oleh beberapa teman penerbang dari India, Leo dijuluki G-maniac karena kegemarannya melakukan berbagai manuver di udara. G-maniac diambil dari kata G-lock, yaitu kondisi kehilangan kesadaran ketika sedang melakukan akrobatik di udara.
Leo juga dijuluki “Si Gila” ketika bermanuver dan beraksi dengan jet tempur Mustang nya. Ia pernah menerbangkan jet tempurnya di bawah kolong jembatan Ampera Palembang serta merupakan penerbang AURI pertama yang mendarat di wilayah Irian Barat (Papua).
Tetapi perjalanan karier hebat Leo Wattimena di TNI AU kandas oleh persoalan politik. Yakni tensi politik yang terjadi tahun 1965-1966 ketika peralihan kepemimpinan orde lama ke penguasa orde baru. Waktu itu, dalam berbagai referensi disebut Soeharto yang saat itu jadi Pangkostrad merasa “diancam” oleh Leo Wattimena via pesan telegram.
Akhirnya saat Soeharto naik menjadi Presiden gantikan Soekarno. Maka reputasi cemerlang Leo Wattimena sebagai penerbang jet tempur dan perwira TNI AU pun “terkunci”. Bahkan di usia karier yang masih lama karena baru berumur 42 tahun, Soeharto putuskan untuk “karyakan” Leo Wattimena sebagai Duta Besar RI di Italia. Itu membuatnya frustasi dan bersikap undur diri dari dinas aktif.
Padahal seabrek prestasi dan jabatan srategis dijabat Leo Wattimena. Bahkan sempat menjadi wakil komandan nya Soeharto dalam Operasi Komando Mandala untuk Irian Barat.
Leo Wattimena berpangkat dua bintang atau Marsda, justru ketika ia meninggal dunia tahun 1976 di usianya baru 48 tahun. Untuk mengenang penerbang legendaris itu, nama Leo Wattimena diabadikan sebagai nama Pangkalan Udara di Pulau Morotai, Maluku Utara dan juga nama jalan di kawasan Passo Ambon.
Berikutnya ada nama penerbang Marsda TNI Lambert F Silooy. Alumni Akademi TNI Angkatan Udara (AAU) tahun 1970 ini adalah lulusan terbaik angkatannya dan meraih penghargaan Adi Makayasa.
Pendidikannya dilanjutkan di Sekolah Penerbang TNI AU dan lulus tahun 1972 sebagai penerbang tempur dengan call sign “Taurus”.
Pesawat pertama yang dipegangnya adalah pesawat latih Lockheed T-33 T-bird, lalu F-86 Sabre. Saat mengawaki Sabre ini Lambert ikut menjadi anggota tim aerobatik pertama TNI AU, Spirit 78. Ia juga mahir menerbangkan pesawat tempur F-5 Tiger II Skadron Udara 14 yang berpangkalan di Pangkalan Udara Iswahyudi, Magetan.
Silooy sempat juga dipilih ikut pendidikan dan latihan pesawat tempur jet supersonik F-5E Tiger II di Amerika Serikat. Ada tiga pilot dan teknisi yang dikirim TNI AU untuk menguasai jet tempur canggih itu tahun 1979-1980.
Selain itu, ada jenderal anak Maluku bukan penerbang. Namanya Marsda TNI Purn Adrian Wattimena yang punya karier di satuan pasukan elit TNI AU, Korps Pasukan Khas (Paskhas) alias baret oranye.
Alumni Akademi Angkatan Udara (AAU) 1983 ini berasal dari Negeri Kariuw Pulau Haruku, Maluku Tengah. Sejak lulus AAU, ia sudah langsung bertugas di satuan pasukan Kopasgat dan Paskhas TNI AU.
Kariernya sejak berpangkat Letnan Dua hingga purnawirawan jenderal bintang dua banyak dihabiskan di komando pasukan elit tersebut. Namun pada tahun 1995, Adrian Wattimena sempat bertugas di New York AS sebagai Wakil Penasihat Militer di Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di PBB New York.
Saat berpangkat Kolonel, ia menduduki beberapa jabatan penting yaitu Kadispenpas Puspen Mabes TNI (2003), Kadisproddok Puspen Mabes TNI (2004), Komandan Wing (Danwing) I Paskhas (2006) dan Asren Korpaskhas (2008).
Tiga tahun kemudian, pangkat Marsekal Pertama (Marsma) diperoleh Adrian Wattimena saat menjabat Direktur Asia Deputi Kepala BIN Bidang Luar Negeri (2011), Direktur Kerja sama Internasional Deputi-I BIN (2012), dan Direktur Rendalgiat Ops Deputi-V BIN (2013).
Puncak karier militernya di TNI AU, digapai saat memperoleh pangkat bintang dua atau Marsekal Muda (Marsda) tahun 2015 dan menjadi Komandan Korps Pasukan Khas (Dankorpaskhas). Ia menjabat sejak 30 Maret 2015 sampai 15 November 2016, setelah itu ia pensiun dari militer.
Ada pula Marsda TNI Purn Pieter Wattimena. Ia adalah alumni AAU 1972.
Jenderan bintang dua ini juga menjadi penerbang senior TNI AU.
Jenderal keturunan Ambon kelahiran Sumut itu, punya jabatan terakhir adalah Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan (Dirjen Kuathan) Departemen Pertahanan tahun 2004.
Setelah pensiun militer. Pieter Wattimena aktif di organisasi perkumpulan motor gede Harley Davidsons Club Indonesia (HDCI) Jakarta dan pusat. (NP)