suaramaluku.com – Indonesia berduka. Terutama dunia olahraga sepakbola di tanah air. Hal ini terjadi usai pertandingan Liga 1 antara tuan rumah Arema FC vs Persebaya di Stafion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022).
Kerusuhan pasca pertandingan yang dimenangkan Persebaya 3-2 itu, dari data terakhir yang dilansir berbagai media massa, jumlah korban tewas tragedi Kanjuruhan terus bertambah jadi sebanyak 130 orang.
“Korban meninggal 130 orang,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang drg Wiyanto Wijoyo seperti dikutip dari detikJatim, Minggu (10/9/2022), pukul 10.40 WIB.
Adapun data korban yang masih dalam perawatan saat ini sebanyak 186 orang. Data tersebut bertambah dari sebelumnya, yang tercatat ada 180 orang yang masih ditangani secara medis.
Dengan angka korban sebanyak itu, maka kejadian di Kanjuruhan berada di urutan kedua korban terbanyak dalam sejarah pertandingan sepakbola dunia, setelah di Peru tahun 1964 dengan korban jiwa resmi 328 tewas.
Akibat tragedi tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah minta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memonitor para korban tragedi Kanjuruhan. Jokowi meminta keduanya memastikan perawatan para korban.
“Saya telah minta Menkes dan Gubernur Jatim untuk memonitor khusus pelayanan medis bagi korban yang sedang dirawat di rumah sakit agar dapat pelayanan terbaik,” kata Jokowi dalam keterangan pers.
Presiden juga meminta kepada Kapolri, Menpora serta Ketum PSSI melakukan investigasi dan evaluasi menyeluruh terkait tragedi ini. Ia katakan pelaksanaan hingga prosedur penanganan penyelenggaraan harus dievaluasi. Sehingga Liga 1 diminta berhenti pertandingan selama 1 minggu.
Tragedi sepakbola di Indonesia itu, terjadi saat suporter tuan rumah yang kecewa timnya kalah, spontan merangsek ke stadion dan lapangan pertandingan, lantas dibalas dengan halauan oleh petugas keamanan.
Dalam video yang beredar luas, polisi juga melepaskan tembakan gas air mata sedangkan di tribun penonton masih dipenuhi suporter tuan tumah.
Akibatnya, ribuan penonton di tribun bergerak selamatkan diri ke arah pintu keluar stadion. Disitulah terjafi saling berhimpitan dan menginjak yang terjatuh.
Polri mengklaim penembakan gas air mata sudah sesuai dengan prosedur, meskipun aturan sebaliknya menyebutkan FIFA telah melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion.
Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta mengatakan langkah tersebut diambil sebagai bentuk upaya menghalau serangan oknum suporter yang merangsek turun ke lapangan Stadion Kanjuruhan.
“Para penonton turun ke tengah lapangan, dan berusaha mencari para pemain dan official untuk menanyakan kenapa sampai kalah atau melampiaskan,” kata Nico.
“Oleh karena itu, pengamanan dan pencegahan dan melakukan pengalihan supaya mereka tidak masuk ke dalam lapangan atau mengejar para pemain,” sambungnya.
Akan tetapi imbas dari penembakan gas air mata ini mengakibatkan ribuan suporter yang datang ke stadion, keluar dengan cara yang tak teratur.
“Akhirnya setelah terkena gas air mata, mereka pergi ke satu titik di pintu keluar 10 dan 12. Terjadi penumpukan, dsitulah terjadi sesak nafas, kekurangan oksigen yang oleh tim medis dilakukan upaya penolongan yang ada di dalam stadion. Kemudian dilakukan evakuasi ke beberapa rumah sakit,” ujar Kapolda.
Sementara itu, salah satu anggota Exco PSSI Dirk Soplanit yang dihubungi media ini, Senin (3/10/2022), mengakui kejadian di Kanjuruhan itu sangat memilukan.
“Tragedi yang memilukan. Tidak tahu siapa yang salah? Apakah pendukung yang brutal ataukah polisi yang tembak gas air mata. Tunggu hasll investigasi jua. Juga bagaimana nanti tanggapan dari FIFA,” ujarnya.
TRAGEDI DI PERU KORBAN TERBESAR
Untuk diketahui, korban tewas akibat kerusuhan pertandingan sepakbola terbesar di dunia itu terjadi pada saat Peru lawan Argentina, di Estadio Nacional, Lima, Peru 24 Mei 1964.
Dikutip dari BBC dan Kompas, pertandingan tersebut menjadi bencana di stadion terburuk. Kejadian bermula saat tuan rumah tertinggal 0-1 dari Argentina dalam babak kualifikasi untuk turnamen sepak bola Olimpiade Tokyo.
Tuan rumah kemudian menyamakan kedudukan, namun gol dianulir oleh wasit asal Uruguay, Ángel Eduardo Pazos.
Keputusan dari wasit itu membuat marah para penggemar Peru, yang memutuskan untuk menyerbu lapangan.
Polisi membalas dengan menembakkan gas air mata ke kerumunan untuk mencegah lebih banyak penggemar menyerbu lapangan permainan. Namun hal itu justru menyebabkan kepanikan.
Kematian terutama terjadi dari orang-orang yang menderita pendarahan internal atau sesak napas akibat berdesak-desakan saat berusaha untuk keluar stadion.
Dilaporkan pertandingan tersebut disaksikan sekitar 53.000 penonton atau 5 persen populasi Ibukota Lima.
Penonton yang panik menuruni tangga dan pintu yang tertutup. Semua yang meninggal terbunuh di tangga hingga ke permukaan jalan, sebagian besar karena pendarahan internal atau asfiksia.
Jumlah korban tewas resmi adalah 328, tetapi ini mungkin terlalu rendah karena kematian akibat tembakan tidak dihitung dalam perkiraan resmi.
Jumlah ini lebih tinggi daripada mereka yang tewas dalam bencana Hillsborough, kebakaran Bradford, tragedi Heysel saat Liverpool vs Juventus 1985 korban jiwa 39 orang tewas, bencana Ibrox 1971, bencana Ibrox 1902, dan bencana Burnden Park digabungkan.
TRAGEDI HILLBOROUGH
Sementara tragedi di sepak bola terbanyak ketiga mengutip CGTN, adalah Tragedi Hillsborough di Inggris yang menewaskan 96 orang.
Pertandingan tersebut adalah semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest pada 15 April 1989.
Penyebabnya karena membludaknya suporter yang ingin menyaksikan laga semifinal Piala FA itu, sehingga ketika gerbang stadion dibuka banyak suporter yang berdesak-desakan memasuki stadion.
Kondisi selanjutnya suporter ricuh dan terjadi saling himpit dan mulai kesulitan bernapas dan mulai jatuh bertumbangan.
Seorang mantan kepala polisi dan mantan pejabat klub sepakbola diadili terkait dengan kejadian tersebut.
Akhirnya, kita tunggu saja hasil investigasi dan evaluasi tragedi sepakbola di stadion Kanjuruhan Malang yang telah menodai dunia sepakbola Indonesia. Siapa yang harus bertanggungjawab? Apa respon dan sanksi dari otoritas sepakbola dunia FIFA maupun PSSI?
Yang pasti. Indonesia berduka. Liga Indonesia disorot. Fanatisme klub atau daerah jadi momok. Sportifitas ternoda. Sedih. Prihatin. Hanya bisa turut berbela sungkawa untuk para korban. (novi pinontoan)