Fahri Bachmid Nilai Usulan Penundaan Pemilu Merupakan “Pembangkangan Konstitusi”

oleh -3,576 views
oleh

Ia berpendapat, usulan penundaan Pemilu ini tentunya tidak terwadahi serta tidak dikenal dalam rumusan norma konstitusi, sehingga tentunya menjadi tidak sejalan dengan konstitusi dan UU tentang Pemilu itu sendiri, artinya usulan itu hanya dapat dipandang sebagai “Ius constituendum”
atau konsep hukum yang dicita-citakan, dan belum diakomodasi dalam konstitusi,

“Sebagai sebuah negara hukum, kita wajib menjunjung tinggi hukum dan konstitusi “UUD NRI 1945 atau “Ius constitutum”
Bahwa pelembagaan Pemilu telah didesain sedemikian rupa dalam kesisteman UUD 1945, agar prinsip kedaulatan rakyat secara esensial dapat disalurkan secara “fixed term” demi tercipta suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, damai, serta tertib demi mencapai tujuan negara yang sesungguhnya,” tuturnya.

Hal ini, lanjutnya, telah terkonfirmasi melalui rumusan-rumusan teks konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), yang diatur bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” selanjutnya disebut bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Kemudian ketentuan selanjutnya adalah Pasal 2 ayat (1) yang rumusanya adalah “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”

Kemudian, mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden, secara limitatif dan definitif juga telah diatur dalam ketentuan norma pasal 7 UUD 1945. Pasal 7 mengatur secara “expressis verbis” bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Selanjutnya ketentuan norma Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) yang secara terang mengatur bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan ketentuan berikutnya mengatur bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Berangkat dari rumusan konstitusi itu, maka UUD 1945 telah mengatur secara restriksi tentang siklus pelaksanaan Pemilu di Indonesia setiap lima tahun sekali. Ini sebagai perwujudan hak asasi politik warga negara untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.

“Hal ini dimaksudkan untuk mendapat derajat legitimasi dari rakyat melalui saluran Pemilu yang legitimate sesuai perintah konstitusi. Secara teoritik sesungguhnya untuk melaksanakan pergantian serta sirkulasi personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib secara konstitusional “suksesi nasional” dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional,” ungkapnya.

Dengan demikian, menurut Fahri, berdasarkan desain konstitusional sistem Pemilu dalam UUD 1945, maka tidak ada peluang serta jalan keluar untuk mengakomodasi wacana perpanjangan masa jabatan-jabatan publik yang di isi berdasarkan hasil Pemilu maupun mencari formula penundaan Pemilu.

“Sebab tidak adanya pranata konstitusional yang tersedia dan diciptakan untuk itu,” tambah Fahri, yang pernah jadi anggota tim pengacara Jokowi-Maruf pada sidang sengketa Pilpres lalu. (NP)

No More Posts Available.

No more pages to load.