suaramaluku.com – Tulisan ini sebelumnya pernah dipublikasi. Tetapi bertepatan dengan tanggal 30 September 2022. Artikel ini sengaja kembali diangkat dengan revisi seperlunya.
Nama Karel Satsuitubun sudah tidak asing di telinga orang Maluku dan di beberapa kota besar Indonesia. Namanya diabadikan sebagai nama jalan dan lainnya. Ia bukanlah perwira tinggi TNI atau Polri. Namun seorang prajurit Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (sekarang Polri) semasa hidupnya.
Beliau adalah salah satu pahlawan revolusi yang gugur saat peristiwa Gerakan 30 September (G30S) Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965, yang merupakan peristiwa kelabu dan membuat para petinggi ABRI waktu itu diculik dan dibunuh secara keji.
Sebagai prajurit Polri, figur Karel Satsuitubun penuh dengan perjuangan dan operasi penumpasan pemberontakan dimana-mana pasca Indonesia merdeka seperti di Sumatera, Sulawesi Selatan, Irian Jaya dan lainnya.
Lantas dimanakah Karel Satsuitubun menempuh pendidikan polisi dan memulai karier prajuritnya?
Karel yang dilahirkan di desa Rumadian Tual, Maluku pada 14 Oktober 1928 ini, ternyata memulai karier sebagai prajurit Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (kini Polri) di Kota Ambon.
Sesuai hasil penelitian sejarah Frans Hitipeuw dkk tahun 1985, menulis bahwa Karel Satsuitubun memulai pendidikan calon agen polisi pada Sekolah Polisi Negara (SPN) yang berlokasi di Negeri Passo, kecamatan Baguala Kota Ambon pada 1 Agustus 1951.
Selanjutnya diangkat sebagai Agen Polisi II pada satuan Mobile Brigade (Mobrig) DNS Ambon (sekarang Brimob Polda Maluku) tanggal 1 Februari 1952.
Kemudian ia dipindahkan ke Mobrig DKN Cilincing Jakarta. Usai ikut Sekolah Mobrig selama tiga bulan di SPN Cabang Megamendung, Karel ditugaskan ke Kantor Polisi Sumatera Utara/Aceh bulan Februari 1955.
Kurang lebih tiga tahun bertugas di Ciputat, Karel lantas ditugaskan selama enam bulan di Sulawesi Selatan pada Juli 1958. Berikutnya ditarik ke Kedunghalang Bogor tahun 1959. Tak lama disitu, Karel ditugaskan ke Sumatera Barat untuk pengamanan pemberontakan PRRI/Permesta selama enam bulan.
Sejak lulus dari SPN Passo Ambon, karier Karel banyak dihabiskan di medan operasi. Karena selain yang disebutkan diatas, pada 18 Maret 1963 ia kembali ditugaskan dalam operasi Trikora selama 10 bulan di perbatasan Irian Barat (Papua).
PENGAWAL LEIMENA
Selesai bertugas dalam operasi Trikora, Karel kembali ke satuannya di Kedunghalang Bogor. Ia juga dinaikkan pangkatnya jadi Brigadir Polisi pada 1 November 1963.
Setelah itu, ia mendapat tugas untuk pengamanan/pengawalan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II, Dr J. Leimena di kediamannya jalan Teuku Umar, kawasan Menteng Jakarta.
Di rumah Dr Leimena inilah terjadi peristiwa G30S PKI yang menyebabkan gugurnya Karel Satsuitubun pada malam 30 September 1965. Rumah Leimena berdekatan dengan kediaman Menteri Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf ABRI waktu itu, Jenderal A.H. Nasution.
Tengah malam menjelang pagi 1 Oktober 1965, Karel bersama dua rekannya yakni Pelda Pol Lubis dan Peltu Pol Lussy, yang sedang bertugas di pos jaga kediaman Dr Leimena, dikagetkan datangnya sebuah truk yang menurunkan pasukan tentara Cakrabirawa.
Singkat cerita. Pasukan itu ternyata bagian dari skenario G30S PKI dalam operasi penculikan para jenderal, termasuk Jenderal AH. Nasution, maka pertama-tama mereka berusaha untuk melumpuhkan kelompok pengawal di rumah Dr. J. Leimena.
Akibatnya, Karel Satsuitubun dan dua rekannya siaga. Insiden baku tembak pun tidak terelakan. Karel yang sudah terkena tembakan, sempat pula menembak salah satu anggota pasukan tersebut, namun ia akhirnya meninggal di halaman rumah Waperdam II Dr Leimena.
Sedangkan dua rekannya lolos dari peristiwa itu. Kemudian pasukan gerombolan tersebut pergi setelah memberondong rumah Jenderal A.H. Nasution. Tetapi Nasution serta Dr J. Leimena selamat dari aksi penculikan dan pembunuhan itu.
Meskipun Jenderal Nasution selamat karena sempat meloloskan diri dengan cara melompat pagar di bagian belakang rumahnya saat diberondong tembakan, namun anaknya Ade Irma Suryani Nasution menjadi korban terkena tembakan dan meninggal dunia.
Termasuk wafatnya beberapa jenderal ABRI saat itu. Seperti Ahmad Yani, D.I. Panjaitan, S. Parman dan lainnya, termasuk Kapten Inf Piere Tendean.
Atas peristiwa perlawanannya kepada gerombolan G30S PKI serta pengabdiannya kepada bangsa dan negara, maka berdasarkan Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Koti tanggal 5 Oktober 1965 Nomor 114/Kori/1965 menganugerakan pangkat Ajun Inspektur Polisi II (Aipda) Anumerta dan gelar Pahlawan Revolusi pada almarhum Karel Satsuitubun.
Kini nama Karel Satsuitubun harum, dikenang atas perjuangan dan pengabdiannya kepada negara. Namanya diabadikan pada nama jalan, kapal perang dan bandara. Orang Maluku bangga pada perjuangan sang pahlawan. Almamaternya SPN Passo dan Brimob Polda Maluku pun layak berbangga pernah melahirkan pahlawan bangsa.
Tenanglah di sana sang pahlawan dalam kedamaian abadi. Jasa dan dedikasimu dikenang sepanjang masa. (novi pinontoan)